Alkisah, seorang
petani menemukan sebuah mata air ajaib di ladangnya. Mata air itu bisa
mengeluarkan kepingan uang emas yang tak terhingga banyaknya. Mata air itu bisa
membuat si petani menjadi kaya raya, seberapa pun yang diinginkannya, sebab
kucuran uang emas itu baru akan berhenti, bila si petani mengucapkan kata “cukup”.
Seketika si petani
terperangah melihat kepingan uang emas berjatuhan di depan matanya. Diambilnya
beberapa ember untuk menampungnya. Setelah semuanya penuh, dibawanya ke gubuk
mungilnya untuk disimpan di sana.
Kucuran uang terus
mengalir, sementara si petani mengisi semua karungnya, seluruh tempayannya,
bahkan mengisi penuh rumahnya.
Masih kurang...
Dia menggali sebuah
lubang besar untuk menimbun emasnya.
Belum cukup...
Dia membiarkan mata
air itu terus mengalir, hingga akhirnya, petani itu mati tertimbun.
Ya, dia mati tertimbun
bersama ketamakannya, karena dia tak pernah bisa berkata “CUKUP.
Kata yang paling sulit
diucapkan oleh manusia, adalah “cukup”.
Kapankah kita bisa
berkata cukup ?
Hampir semua pegawai,
merasa gajinya belum bisa dikatakan sepadan dengan kerja kerasnya.
Pengusaha, selalu
merasa pendapatan perusahaannya masih di bawah target.
Istri mengeluh
suaminya kurang perhatian, Suami berpendapat istrinya kurang pengertian.
Anak-anak menganggap
orang tuanya kurang murah hati. Semua merasa kurang, kuraang, dan
kuraaaaang.....!
Kapankah kita bisa
berkata “cukup” ?
Cukup, bukanlah soal
berapa jumlahnya. Cukup, adalah persoalan kepuasan hati. Cukup, hanya bisa
diucapkan oleh orang yang bisa bersyukur.
Mengucapkan kata
cukup, bukan berarti kita berhenti berusaha dan berkarya.
Belajarlah mencukupkan
diri dengan apa yang ada pada diri kita hari ini, maka kita akan menjadi
manusia yang pandai bersyukur & berbahagia.
الْحَمْدُ لِلَّهِ
رَبِّ الْعَالَمِينَ
Tidak ada komentar:
Posting Komentar