oleh Ust. Abu Yahya
Badrusalam LC
Menilai kebenaran
karena pengikutnya adalah orang-orang kaya, bangsawan, para ilmuwan dan
orang-orang yang berkedudukan. Adapun bila pengikutnya rakyat jelata dan
orang-orang lemah, ia anggap sesuatu yang batil.
Ini adalah parameter
kaum jahiliyah yang tertipu dengan kedudukan dan pangkat. Dahulu para Nabi
diikuti oleh orang-orang yang lemah.
Dalam Shahih Bukhari
disebutkan kisah perbincangan raja Heraklius dengan Abu Sufyan yang masih
kafir.
Diantara pertanyaan
Heraklius tentang Nabi shallallahu 'alaihi wasallam adalah, "Apakah
pengikutnya dari kalangan rendahan atau para bangsawan?"
Abu Sufyan menjawab,
"Justru kebanyakan dari kaum yang lemah."
Padahal dahulu kaum
'Aad dan Tsamud adalah kaum yang kuat dan berkedudukan. Namun Allah
menghancurkan mereka akibat kekafiran mereka.
Di zaman ini, masih
banyak orang yang yang mempunyai parameter seperti ini. Bila yang berbicara orang
tidak punya titel ia acuhkan, walaupun yang diucapkan adalah kebenaran. Tapi
bila yang mengucapkannya adalah orang yang bertitel apakah itu profesor atau
doktor atau pejabat tinggi, maka ia anggap sebagai sebuah kebenaran.
Padahal kebenaran
tidak terletak pada titel atau kedudukan. Kebenaran adalah yang berasal dari
Allah dan Rasul-Nya. Yang dapat mengikuti dakwah para Nabi hanyalah orang-orang
yang menundukkan dirinya di hadapan Rabbnya dan membuang semua kesombongan dan
keangkuhannya.
Adapun orang yang
tertipu oleh kecerdasan, kekayaan dan kedudukan, amat sulit untuk tunduk dan
taslim kepada Rabbnya. Masih menimbang-nimbang dengan akalnya, kekayaan dan
kedudukan yang ia banggakan.
Maka sungguh
mengagumkan orang yang tidak tertipu oleh semua itu, lalu ia tunduk dan
mengakui kelemahannya di hadapan sang pencipta. Ia mengakui dirinya seorang
hamba, kalaulah bukan karena Allah yang memberinya nikmat tentu ia akan binasa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar